Rabu, 18 Oktober 2017

pbc #6

Motivasi dan Emosi dalam mencapai Tujuan
     Tujuan hidup saya adalah menyelsaikan bucket list yang saya buat beberapa tahun lalu. Salah satunya adalah lulus dengan tepat waktu dan nilai IP 3,5. Sebenarnya tujuan hidup saya bukan hanya menguasai dibidang akademik saja, tetapi di bagian non akademik seperti seni berkomunikasi, berorganisasi, kepribadian yang kuat, kemandirian, kemampuan bekerja sama dalam tim, dan juga kecakapan memimpin.
     Karena hobi saya menantang adrenalin, hal yang saya sangat inginkan yang pertama adalah mendaki gunung yang termasuk kedalam seven summit di Indonesia maupun luar negeri. Kedua berarung jeram disungai ekuador. Danyang ketiga diving di bunaken, raja ampat dan Great Reef Barrier di Australia.
     Saya sangat suka mereview suatu produk dan membandingkan produk satu dengan yang lainnya.  Maka dari itu nanti saat skripsi saya ingin mengambil tema tersebut. Tujuan saya menjadi konselor suatu produk. Selain itu saya juga suka menyambangi daerah-daerah terpencil yang masih jarang terjamah oleh teknologi. Buat saya hal ini sangat berharga, karena saya dapat mempelajari karakteristik masyarakat Indonesia bukan hanya dari “katanya”. maka dari itu setelah lulus nanti Inshaa Allah diberi rezeki Allah SWT. Melanjutkan S2 di jurusan Antropologi atau Ekonomi.
Emosi  
     Sartre (2002 : 7) mengatakan bahwa kematangan emosi adalah keadaan seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan kematangan emosi maka individu dapat bertindak dengan tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi.
Motivasi
     Abraham Maslow. Ia beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.

Hasil yang saya dapatkan dari kuesioner yang dibagikan tentang EQ:
Skala 1: Kesadaran Emosi Diri
Saya mendapatkan hasil sebesar 55%.
Maksudnya, sebanyak 55% saya sadar akan emosi saya sendiri dan sebanyak 45% saya belum menyadari emosi diri saya sendiri.
Skala 2: Pengendalian Emosi
Saya mendapatkan hasil sebanyak 48%.
Maksudnya, sebanyak 48% saya dapat mengendalikan emosi diri saya sendiri dan sebanyak 52% saya belum dapat mengendalikan emosi diri saya sendiri.
Skala 3: Kesadaran Emosi Orang Lain
Saya mendapatkan hasil sebesar 67%. Artinya, sebanyak 67% saya sadar akan emosi yang dimiliki orang lain dan sebanyak 33% saya belum dapat menyadari akan emosi yang dimiliki orang lain.
Hasil yang saya dapatkan dalam personality type test:
Berdasarkan hasil tersebut, saya termasuk individu yang kuat, agresif, suka berpetualang, menguasai, suka bersosialisasi, rasional, suka mengelak.
Kesimpulan

            Untuk dapat mencapai goals yang saya inginkan dari hasil tes yang saya dapatkan, saya harus tenang, sabar, konservatf, ramah, reflektif






daftar pustaka 
www.mediapustaka.com › pendidikan
Motivasi dan Emosi dalam mencapai Tujuan
     Tujuan hidup saya adalah menyelsaikan bucket list yang saya buat beberapa tahun lalu. Salah satunya adalah lulus dengan tepat waktu dan nilai IP 3,5. Sebenarnya tujuan hidup saya bukan hanya menguasai dibidang akademik saja, tetapi di bagian non akademik seperti seni berkomunikasi, berorganisasi, kepribadian yang kuat, kemandirian, kemampuan bekerja sama dalam tim, dan juga kecakapan memimpin.
     Karena hobi saya menantang adrenalin, hal yang saya sangat inginkan yang pertama adalah mendaki gunung yang termasuk kedalam seven summit di Indonesia maupun luar negeri. Kedua berarung jeram disungai ekuador. Danyang ketiga diving di bunaken, raja ampat dan Great Reef Barrier di Australia.
     Saya sangat suka mereview suatu produk dan membandingkan produk satu dengan yang lainnya.  Maka dari itu nanti saat skripsi saya ingin mengambil tema tersebut. Tujuan saya menjadi konselor suatu produk. Selain itu saya juga suka menyambangi daerah-daerah terpencil yang masih jarang terjamah oleh teknologi. Buat saya hal ini sangat berharga, karena saya dapat mempelajari karakteristik masyarakat Indonesia bukan hanya dari “katanya”. maka dari itu setelah lulus nanti Inshaa Allah diberi rezeki Allah SWT. Melanjutkan S2 di jurusan Antropologi atau Ekonomi.
Emosi  
     Sartre (2002 : 7) mengatakan bahwa kematangan emosi adalah keadaan seseorang yang tidak cepat terganggu rangsang yang bersifat emosional, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, selain itu dengan kematangan emosi maka individu dapat bertindak dengan tepat dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi.
Motivasi
     Abraham Maslow. Ia beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.

Hasil yang saya dapatkan dari kuesioner yang dibagikan tentang EQ:
Skala 1: Kesadaran Emosi Diri
Saya mendapatkan hasil sebesar 55%.
Maksudnya, sebanyak 55% saya sadar akan emosi saya sendiri dan sebanyak 45% saya belum menyadari emosi diri saya sendiri.
Skala 2: Pengendalian Emosi
Saya mendapatkan hasil sebanyak 48%.
Maksudnya, sebanyak 48% saya dapat mengendalikan emosi diri saya sendiri dan sebanyak 52% saya belum dapat mengendalikan emosi diri saya sendiri.
Skala 3: Kesadaran Emosi Orang Lain
Saya mendapatkan hasil sebesar 67%. Artinya, sebanyak 67% saya sadar akan emosi yang dimiliki orang lain dan sebanyak 33% saya belum dapat menyadari akan emosi yang dimiliki orang lain.
Hasil yang saya dapatkan dalam personality type test:
Berdasarkan hasil tersebut, saya termasuk individu yang kuat, agresif, suka berpetualang, menguasai, suka bersosialisasi, rasional, suka mengelak.
Kesimpulan

            Untuk dapat mencapai goals yang saya inginkan dari hasil tes yang saya dapatkan, saya harus tenang, sabar, konservatf, ramah, reflektif






daftar pustaka 
www.mediapustaka.com › pendidikan

Rabu, 11 Oktober 2017

PBC #5 psikologi pengantar bisnis


Hubungan antara IQ, EQ, Grit, Interpersonal Skill, dan Job Satisfication  

EQ ( Emotional Quotient )
Steiner (1997) menjelaskan  pengertian kecerdasan emosional adalah suatu  kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.
Mayer dan Solovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.

Aspek EQ
-Kemampuan kesadaran diri.
-Kemampuan mengelola emosi.
-Kemampuan memotivasi diri.
-Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
-Kemampuan berhubungan dengan orang lain ( empati )

Perilaku Cerdas Emosi
-Menghargai emosi negatif orang lain.
-Sabar menghadapi emosi negatif orang lain.
-Sadar dan menghargai emosi diri sendiri.
-Peka terhadap emosi orang lain.
-Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
-Tidak menganggap lucu emosi orang lain.

Sifat EQ Tinggi
-Berempati.
-Mengungkapkan dan memahami perasaan.
-Mengendalikan amarah.
-Kemampuan menyesuaikan diri.
-Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
-Hormat, ramah, setia, dan tekun.

IQ (Intelegence  Quotient )
IQ merupakan kepanjangan dari Intelegence Quotient yang artinya ukuran kemampuan intelektuas, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ adalah istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya.

Ciri Ciri Perilaku Intellegence
-Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru bagi yang bersangkutan.
-Serasi tujuan dan ekonomis / efesien.
-Masalah mengandung tingkat kesulitan.
-Keterangan  pemecagannya dapat diterima
-Sering menggunakan abstraksi.
-Bercirikan kesempatan.
-Memerlukan pemusatan perhatian.

Psikologi Kapital
Menurut Luthans (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi perkembangan positif seseorang dan dikarakteristikan oleh:
 (1) memiliki kepercayaan diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas-tugas
tersebut;
(2) membuat atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan;
(3) tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk mencapai tujuan (hope); dan
(4) ketika dihadapkan pada permasalahan dan halangan dapat bertahan dan kembali (resiliency), bahkan lebih, untuk mencapai kesuksesan. Psychological Capital memiliki 4 dimensi yaitu:
1. Self-efficacy
2. Hope
3. Optimism
4. Resiliency
Menurut Osigweh (1989), psycological capital adalah suatu
pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa
mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu  kinerja organisasi. Dimensi-dimensi tersebut adalah self-efficacy, hope, optimism, dan resiliency.

Grit
Grit merupakan karakter kepribadian yang ditunjukan melalui perilaku untuk mempertahankan ketekunan dan semangat dalam mencapai tujuan jangka panjang yang diharapkan (Duckworth, 2007). Setiap individu memiliki derajat grit yang berbeda beda, hal ini disebabkan grit merupakan bagian dari sifat kepribadian individu yang menentukan bagaimana individu berinteraksi dalam lingkungan yang beragam (Duckworth & Quinn, 2009). Individu dengan derajat grit yang tinggi dapat berhasil dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya sehingga mampu untuk meraih sukses. Grit memiliki dua aspek pendukung utama yaitu:
1.     Perseverance of efforts, yang diartikan sebagai upaya sungguh seseorang dalam berusaha untuk mencapai tujuan serta kemampuan bertahan dalam durasi waktu tertentu seorang individu dapat mempertahankan usahanya. Ketekunan dalam berusaha ditunjukkan melalui perilaku individu yang giat dalam bekerja keras, bertahan dalam menghadapi tantangan dan mampu berpegang teguh dengan pilihannya.
2.     Consistency of interest, adalah seberapa konsisten usaha seorang individu untuk menuju suatu tujuan. Berfokus pada minat dalam jangka waktu yang berlangsung lama. Hal ini berarti seorang individu memilih hal-hal yang penting di dalam hidupnya yaitu tujuan yang ingin dicapai serta tetap konsisten terhadap tujuan itu dalam jangka waktu yang panjang.

Interpersonal skill
Menurut Spitzberg & Cupach (dalam Muhamad) Lukman 2000:10) : “kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif”.  Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan.


Job satisfication
Robbins and Judge (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan  sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja  sebagai perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi  bahwa pekerjaannya  memenuhi nilai-nilai pekerjaan yang penting. Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang.  Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat secara relative dipuaskan  dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas dengan satu atau  berbagai aspek. Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson  and Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan  sebagai hasil dari  penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang.
























Paul G. Stoltz. (2000). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: Grasindo. 

http://global.liputan6.com/read/2965640/psikolog-iq-hanya-mitos-ini-yang-menentukan-kesuksesan-anda
http://belajarpsikologi.com/pengertian-kecerdasan-emosional-eq/

https://4312m2n.wordpress.com/2009/05/19/iq-eq-dan-sq/


Hubungan antara IQ, EQ, Grit, Interpersonal Skill, dan Job Satisfication  

EQ ( Emotional Quotient )
Steiner (1997) menjelaskan  pengertian kecerdasan emosional adalah suatu  kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.
Mayer dan Solovey (Goleman, 1999; Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.

Aspek EQ
-Kemampuan kesadaran diri.
-Kemampuan mengelola emosi.
-Kemampuan memotivasi diri.
-Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
-Kemampuan berhubungan dengan orang lain ( empati )

Perilaku Cerdas Emosi
-Menghargai emosi negatif orang lain.
-Sabar menghadapi emosi negatif orang lain.
-Sadar dan menghargai emosi diri sendiri.
-Peka terhadap emosi orang lain.
-Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
-Tidak menganggap lucu emosi orang lain.

Sifat EQ Tinggi
-Berempati.
-Mengungkapkan dan memahami perasaan.
-Mengendalikan amarah.
-Kemampuan menyesuaikan diri.
-Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
-Hormat, ramah, setia, dan tekun.

IQ (Intelegence  Quotient )
IQ merupakan kepanjangan dari Intelegence Quotient yang artinya ukuran kemampuan intelektuas, analisis, logika, dan rasio seseorang. IQ adalah istilah kecerdasan manusia dalam kemampuan untuk menalar, perencanaan sesuatu, kemampuan memecahkan masalah, belajar, memahaman gagasan, berfikir, penggunaan bahasa dan lainnya.

Ciri Ciri Perilaku Intellegence
-Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru bagi yang bersangkutan.
-Serasi tujuan dan ekonomis / efesien.
-Masalah mengandung tingkat kesulitan.
-Keterangan  pemecagannya dapat diterima
-Sering menggunakan abstraksi.
-Bercirikan kesempatan.
-Memerlukan pemusatan perhatian.

Psikologi Kapital
Menurut Luthans (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi perkembangan positif seseorang dan dikarakteristikan oleh:
 (1) memiliki kepercayaan diri (self efficay) untuk menghadapi tugas-tugas yang menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas-tugas
tersebut;
(2) membuat atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan;
(3) tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk mencapai tujuan (hope); dan
(4) ketika dihadapkan pada permasalahan dan halangan dapat bertahan dan kembali (resiliency), bahkan lebih, untuk mencapai kesuksesan. Psychological Capital memiliki 4 dimensi yaitu:
1. Self-efficacy
2. Hope
3. Optimism
4. Resiliency
Menurut Osigweh (1989), psycological capital adalah suatu
pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa
mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu  kinerja organisasi. Dimensi-dimensi tersebut adalah self-efficacy, hope, optimism, dan resiliency.

Grit
Grit merupakan karakter kepribadian yang ditunjukan melalui perilaku untuk mempertahankan ketekunan dan semangat dalam mencapai tujuan jangka panjang yang diharapkan (Duckworth, 2007). Setiap individu memiliki derajat grit yang berbeda beda, hal ini disebabkan grit merupakan bagian dari sifat kepribadian individu yang menentukan bagaimana individu berinteraksi dalam lingkungan yang beragam (Duckworth & Quinn, 2009). Individu dengan derajat grit yang tinggi dapat berhasil dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya sehingga mampu untuk meraih sukses. Grit memiliki dua aspek pendukung utama yaitu:
1.     Perseverance of efforts, yang diartikan sebagai upaya sungguh seseorang dalam berusaha untuk mencapai tujuan serta kemampuan bertahan dalam durasi waktu tertentu seorang individu dapat mempertahankan usahanya. Ketekunan dalam berusaha ditunjukkan melalui perilaku individu yang giat dalam bekerja keras, bertahan dalam menghadapi tantangan dan mampu berpegang teguh dengan pilihannya.
2.     Consistency of interest, adalah seberapa konsisten usaha seorang individu untuk menuju suatu tujuan. Berfokus pada minat dalam jangka waktu yang berlangsung lama. Hal ini berarti seorang individu memilih hal-hal yang penting di dalam hidupnya yaitu tujuan yang ingin dicapai serta tetap konsisten terhadap tujuan itu dalam jangka waktu yang panjang.

Interpersonal skill
Menurut Spitzberg & Cupach (dalam Muhamad) Lukman 2000:10) : “kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif”.  Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan.


Job satisfication
Robbins and Judge (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan  sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja  sebagai perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi  bahwa pekerjaannya  memenuhi nilai-nilai pekerjaan yang penting. Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang.  Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat secara relative dipuaskan  dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas dengan satu atau  berbagai aspek. Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson  and Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan  sebagai hasil dari  penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang.
























Paul G. Stoltz. (2000). Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: Grasindo. 

http://global.liputan6.com/read/2965640/psikolog-iq-hanya-mitos-ini-yang-menentukan-kesuksesan-anda
http://belajarpsikologi.com/pengertian-kecerdasan-emosional-eq/

https://4312m2n.wordpress.com/2009/05/19/iq-eq-dan-sq/

Selasa, 03 Oktober 2017

pbc #4

ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR


Robbins-Timothy A.Judge (2011:10), Perilaku organisasi (organizational behavior) adalah bidang studi yang menyelidiki pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi, yang bertujuan menerapkan ilmu pengetahuan guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi.

Komitmen organisasional (organizational commitment), definisinya adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak  organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu,sementara komitmen norganisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. (Robbins, 2008).
Menurut Gibson (2009:315) komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap:
 (1) identifikasi dengan tujuan organisasi ;
(2) perasaaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi ;
(3) Perasaaan loyalitas terhadap organisasi. Sehingga dimaknai bahwa komitmen organisasi merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi.
Dimensi komitmen organisasi
1.  Komitmen   afektif,   yaitu   keikatan   emosional,   identifikasi   dan keterlibatan  dalam  suatu  organisasi.  Individu  menetap  dalam suatu organisasi karena keinginan sendiri.
2.   Komitmen kontinuans, yaitu komitmen individu yang didasarkan pada pertimbangan  tentang apa yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Individu memutuskan menetap pada    suatu organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan kebutuhan.
3.   Komitmen normatif, yaitu keyakinan individu tentang tanggung  jawab terhadap organisasi.           Individu tetap tinggal pada suatu organisasi karena merasa wajib untuk loyal pada organisasi tersebut.


Definisi ocb : Menurut Dyne (1994) perilaku tersebut biasa disebut sebagai extra role atau Organizational Citizenship Behavior (OCB) yaitu sikap atau perilaku pegawai yang melebihi apa yang ditugaskan di luar job description dan memperoleh reward secara tidak langsung dari organisasi. Luthans (2002)
menyebutkan bahwa OCB dapat dilihat dalam lima kategori dasar yaitu
1. altruism : perilaku yang merefleksikan kepedulian yang tidak egois terhadap kesejahteraan orang lain (Baron &Byrne, 2004).
2. conscientiousness : perilaku melebihi tuntutan tugas dan dikerjakan dengan baik (Aldag, 1997).
3.  civic virtue : perilaku berpartisipasi dan menunjukkan kepedulian terhadap kelangsungan hidup organisasi (Greenberg & Baron, 2000).
4. Sportsmanship : perilaku memahami keadaan yang kurang ideal tanpa mengeluh, menahan diri agar tidak mengeluh (Aldag, 1997).
5. courtesy : perilaku bersikap sopan dan sesuai aturan, sehingga mencegah timbulnya konflik interpersonal ( Greenberg & Baron, 2000).
·         Variabel-variabel Organization Citizenship Behavior (OCB)
A complex mosaic individual, social, and organizational variables determines organizational citizenship behavior, for example, the personality, attitudes, and needs.


Yuniasanti, Reny. (2014). Organizational Citizenship Behavior (OCB) Ditinjau dari Persepsi
Karyawan Tetap Instansi Pemerintah terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional Atasan. Jurnal Psikologi Taburasa Volume 9, No.2, Oktober 2014: 86 – 98.
http://ayukberbagi.blogspot.co.id/2013/03/organizational-citizenship-behavior-ocb.html
http://tulisanterkini.com/artikel/artikel-ilmiah/9092-dimensi-dimensi-komitmen-organisasi.html
http://blogharalazmi.blogspot.co.id/2012/06/komitmen-organisasional.html


ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR


Robbins-Timothy A.Judge (2011:10), Perilaku organisasi (organizational behavior) adalah bidang studi yang menyelidiki pengaruh yang dimiliki oleh individu, kelompok dan struktur terhadap perilaku dalam organisasi, yang bertujuan menerapkan ilmu pengetahuan guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi.

Komitmen organisasional (organizational commitment), definisinya adalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak  organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu,sementara komitmen norganisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. (Robbins, 2008).
Menurut Gibson (2009:315) komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap:
 (1) identifikasi dengan tujuan organisasi ;
(2) perasaaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi ;
(3) Perasaaan loyalitas terhadap organisasi. Sehingga dimaknai bahwa komitmen organisasi merupakan suatu bentuk identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang diekspresikan oleh karyawan terhadap organisasi.
Dimensi komitmen organisasi
1.  Komitmen   afektif,   yaitu   keikatan   emosional,   identifikasi   dan keterlibatan  dalam  suatu  organisasi.  Individu  menetap  dalam suatu organisasi karena keinginan sendiri.
2.   Komitmen kontinuans, yaitu komitmen individu yang didasarkan pada pertimbangan  tentang apa yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Individu memutuskan menetap pada    suatu organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan kebutuhan.
3.   Komitmen normatif, yaitu keyakinan individu tentang tanggung  jawab terhadap organisasi.           Individu tetap tinggal pada suatu organisasi karena merasa wajib untuk loyal pada organisasi tersebut.


Definisi ocb : Menurut Dyne (1994) perilaku tersebut biasa disebut sebagai extra role atau Organizational Citizenship Behavior (OCB) yaitu sikap atau perilaku pegawai yang melebihi apa yang ditugaskan di luar job description dan memperoleh reward secara tidak langsung dari organisasi. Luthans (2002)
menyebutkan bahwa OCB dapat dilihat dalam lima kategori dasar yaitu
1. altruism : perilaku yang merefleksikan kepedulian yang tidak egois terhadap kesejahteraan orang lain (Baron &Byrne, 2004).
2. conscientiousness : perilaku melebihi tuntutan tugas dan dikerjakan dengan baik (Aldag, 1997).
3.  civic virtue : perilaku berpartisipasi dan menunjukkan kepedulian terhadap kelangsungan hidup organisasi (Greenberg & Baron, 2000).
4. Sportsmanship : perilaku memahami keadaan yang kurang ideal tanpa mengeluh, menahan diri agar tidak mengeluh (Aldag, 1997).
5. courtesy : perilaku bersikap sopan dan sesuai aturan, sehingga mencegah timbulnya konflik interpersonal ( Greenberg & Baron, 2000).
·         Variabel-variabel Organization Citizenship Behavior (OCB)
A complex mosaic individual, social, and organizational variables determines organizational citizenship behavior, for example, the personality, attitudes, and needs.


Yuniasanti, Reny. (2014). Organizational Citizenship Behavior (OCB) Ditinjau dari Persepsi
Karyawan Tetap Instansi Pemerintah terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional Atasan. Jurnal Psikologi Taburasa Volume 9, No.2, Oktober 2014: 86 – 98.
http://ayukberbagi.blogspot.co.id/2013/03/organizational-citizenship-behavior-ocb.html
http://tulisanterkini.com/artikel/artikel-ilmiah/9092-dimensi-dimensi-komitmen-organisasi.html
http://blogharalazmi.blogspot.co.id/2012/06/komitmen-organisasional.html


 
tyas maudi hastuti Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template